12 Jul 2012

Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

Pernahkah mendengar pepatah Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya ? Memang benar demikian keadaannya, kebanyakan orang pasti berpendapat hal sama.

Mengingat pepatah itu, sperti melihat masa tiga puluh tahun silam, dimana waktu saya masih sering melihat banyak potongan koran untuk kliping berserakan di meja maupun dilantai juga banyaknya majalah ataupun kolom koran yang ditandai dengan stabilo kuning atau hijau. Kesannya menandakan ada hal penting dan sungguh diperhatikan. Bukankah, demikian rutinitas pada jurnalis yang notabene adalah Ayah sendiri. (Ini adalah kisah nyata yang akan saya share disini).


Mungkin bagi anak yang masih duduk di taman kanak-kanak belum tahu persis maksud dari kegiatan itu yang rutin dilihat tiap hari. Dulu sempat terpikir, waduh banyak sampah bertebaran... Ayah tidak mau jaga kebersihan rumah,nih ~ pemikiran lugu anak kecil.

Anehnya, saya juga merasa senang bisa bermain ditumpukkan koran atau majalah yang sudah ditandai-dipotong sesuai tanda-berikut juga gambar/fotonya. Malahan saya seperti berpura-pura menjadi Ayah yang "sibuk" sendiri dengan kegiatannya. (Cuma pada saat itu saya akhirnya dibekali gunting mainan khusus anak-anak. Jadi aman dipakai bermain).

Hemmm...ternyata hal yang sepertinya sepele sekarang saya tiru juga. Apalagi dalam mengembangkan proses belajar menulis naskah cerita. Seperti halnya membeli beberapa media yang akan saya "bidik" tentunya untuk memahami karakter tulisan di dalamnya. Apabila ada tabloid serta koran entah lokal atau Jakarta yang isinya penting, itu pasti juga saya tandai dengan stabillo dan akhirnya bisa dijilid menjadi kliping.

Oh Ayah, andai engkau tahu....

Sebenarnya dalam hati kecil saya salut juga bangga dengan profesi Ayah sebagai jurnalis di Majalah Ternama di ibukota. Cuma, saya sudah memegang prinsip gengsi , jika menebeng nama Ayah. Mungkin juga sudah dikenal beberapa redaksi dan kalangan media ibukota. Musabab itulah yang dulu mendorong saya, tepatnya kelas 4 SD untuk belajar menulis dengan menyamarkan nama. Saya lebih suka memakai nama pena.

Memang awalnya tulisan cerita saya ditolak... saya kembali tulis-kirim lagi. Berulang-ulang terus, sampai halnya putus asa. Apakah saya perlu memakai nama asli yang orang Redaksi bisa lebih mengenali sosok saya ?
Belum lagi jaman dulu~jadul... terbiasa menulids dengan mesin ketik. Repot juga, kalau ada kesalahan ketik harus di hapus dengan correction pen (Tip-Ek). Penulisannya dirangkap pula menggunakan kertas karbon. Terbayang, kan betapa keras perjuangannya dalam menulis. Ditambah suara mesin ketiknya yang beradu kencang. Bikin telinga terketuk hafal iramanya. Tak.. Tik...Tak ..Tik ....Hehehe terbayang terus.

Mungkin faktor itulah yang mendorong saya lebih menghargai pengalaman hidup ini dengan melihat rentang perjalanan dulu. Kini semua tampak mudah dengan berbagai fasilitas modern beserta kecanggihan alat-alat gadget yang tengah semarak.

Apalagi dirumah juga bisa memakai layanan internet full-time, akses cepat dan biaya terjangkau. Mengapa saya harus tetap mati suri daya cipta serta inspirasi dalam penulisan cerita. Harusnya saya mensyukuri, kemudahan serta latar belakang yang harusnya bisa memompa semangat saya terlecut bangkit dan maju kembali.

"Hayooo, pasti kamu bisa dan akan terus bisa, " demikianlah suara dalam hati kecil yang menjeritkan semangat tak berkesudahan.

Mungkin lewat latihan menulis dalam blog sederhana inilah saya dituntut kembali berkreasi dalam seni tulis. Memang inilah dunia kecintaaan saya~menulis cerita. Bahkan menyimpan mimpi memeluk angan-angan bisa membagi ilmu dan kemampuan saya via tulisan cerita. Harus mampu menjadi Penulis yang Produktif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir dan berkomentar, insyaalah saya akan berkunjung balik. Sukses selalu :)